Himawari No Shojo ~Gadis Bunga Matahari~
Sebuah kisah klasik yang terjadi antara seorang laki-laki dan perempuan. Ini kisahku bersamanya.
------------------------
Dia, Ratu Vienny Fitrilya. Dia gadis yang biasa saja. Tingginya bahkan hanya sebahuku. Dia gadis yang kurang mencolok dibandingkan dengan teman-temannya. Em, mungkin sedikit pemalu, tetapi banyak orang yang menyukainya. Menyukai sebagai teman pastinya.
Ada satu hal yang membuatku selalu berpikir, tidakkah dia punya masalah, karena selalu yang kulihat hanyalah senyum gembiranya. Ah, dia terlalu misterius untuk diamati. Dia bukanlah orang yang akan mengumbar masalahnya pada khalayak umum. Itu yang aku sukai darinya.
Aku sempat lupa diri ketika suatu hari dia terlihat tergesa di depan ruangan dosen. Aku yang saat itu sedang duduk bercengkerama dengan temanku di bangku kosong dekat tangga sesaat memalingkan pandanganku padanya. Ah, rambutnya yang terikat rapi di belakang kepala dan poni yang menutupi hampir seluruh dahinya menjadi kusut dan lepek. Nafasnya memburu karena kelelahan berlari (mungkin). Dia berlari ke pintu sebelah utara yang menghubungkan ke ruangan dosen. Tak lama kemudian, dia kembali ke arah tangga dan menatapku. Aku tergagap dipandangi seperti itu.
"A..ano maaf kamu liat bu yeni? aku tadi sudah dari ruangannya, tetapi beliau tidak ada..."
Suara lembut itu mengalun pelan. Hei! Jangan diam saja, diriku, ayo bicaralah!
"Hn. gak liat..."
Ck, bagus. Suara ku bahkan terkesan datar dan tidak bersahabat.
"oh, makasih ya..."
Apa? Hanya itu? Tak ada yang lain?
Kemudian dia berlalu begitu saja. Ini adalah pertama kalinya aku bicara dengannya dan aku sangat menunggu saat-saat seperti ini, dan sekarang, hanya seperti ini? aku memang payah.
--------------------
.
Vienny atau bisa dipanggil viny untuk lebih gampangnya hehe. Jika dikatakan mengenalnya, aku tak cukup kenal dengan dia. Aku hanya sebatas tau namanya saja. Diam-diam saat dikelas aku selalu memperhatikannya, saat dia tertawa entah mengapa hal itu mendorong diriku untuk ikut tertawa, bahkan aku sempat dikira gila oleh teman disebelah ku karena ketahuan senyum-senyum sendiri. Memang bodoh.
Hari itu dia terlihat mengenakan rok selutut dengan kemeja bunga-bunga yang cantik secantik pemakainya. Mungkin omonganku terkesan menggombal. Namun itulah kenyataannya. Dia begitu cantik dan dipermanis dengan bandana yang serasi dengan baju yang dia kenakan. Hatiku benar-benar berdebar ketika dia lewat di depanku. Aku tak habis pikir, mengapa aku merasakan hal tak masuk akal begini hanya karena seorang gadis yang tak cukup aku kenal.
Dia terlihat sedang mengobrol dengan teman-temannya. Terkadang senyum simpul tersungging di bibirnya. Dan terkadang punggung tangannya terlihat sedikit menutupi tawanya yang agak keras tetapi santun itu. Tiba-tiba wajahnya terlihat memerah dan dia mengibas-ngibaskan tangannya ke depan.
Ngomong-ngomong, sejak kapan aku menjadi stalker seperti ini? Ah sudahlah .
"Permisi... Hei kok dari tadi ngelamun aja? "
Eh? Sejak kapan dia ada di hadapanku? Ah, pasti aku terlalu banyak melamun hingga tak menyadari kedatangannya.
"Hn…"
Gumamku tidak jelas.
Gumamku tidak jelas.
"E-eh, Apa?"
Bodoh! Apa yang aku lakukan! Tentu dia tak akan tahu maksud dari gumamanmu barusan.
"Ng-nggak papa, Cuma lagi liat pemandangan aja."
Arrgghh! Jawaban macam apa itu. Dia pasti akan menganggap ku aneh.
"Eh, emang lagi liat pemandangan apa?"
Bingung menjawabnya, seketika mataku langsung tertuju pada taman bunga matahari yang ada di depanku.
"Lagi liat bunga matahari, tuh." Aku menunjuk taman bunga yang hanya dipenuhi oleh bunga matahari, sial pasti aku semakin terlihat bodoh dimatanya, pasti dia menganggapku cowok aneh yang suka melihat taman bunga. Tamatlah sudah.
"E-eh! Aku suka banget sama bunga matahari loh, kamu juga suka?"
E-eh, bingung menjawab apa. Akupun hanya menganggukkan kepala.
"Wah~ seneng deh kalo ada orang yang sukanya samaan dengan kita hehe."
Dia tersenyum padaku. Ca-cantik hanya itu yang ada di pikiran ku saat itu.
"Vin, ayo cepet, katanya mau ke kantin..." teman-teman viny pun sudah memanggilnya.
"Iya sebentar. Eh, maaf aku kesana dulu ya, sampai nanti." Dia tersenyum lagi.
Aku hanya diam melihatnya menjauh pergi, sesekali kulihat dia tertawa dengan teman-temannya. Membuat ku juga ikut tersenyum, perasaan ini memang aneh.
----------------------------
Sekian lama aku memperhatikannya (kalau tidak mau disebut ‘menstalker’), akhirnya aku dapat berinteraksi lebih lama dengannya. Bahkan menjadi akrab dengannya. Dia anak pertama dari dua bersaudara. Ayahnya bekerja sebagai pegawai pemerintah. Dan ibunya adalah seorang ibu rumah tangga. Oke aku memang stalker yang handal -_-
Interaksiku berawal ketika sore ini aku melihatnya sedang bercengkerama dengan salah temannya di salah satu bangku taman kampus. Ketika itu aku baru saja keluar dari gedung di sebelah timur. Aku berniat pulang setelahnya karena badanku yang sudah terasa pegal. Namun, niatku runtuh seketika dan badanku menjadi sehat bugar kala melihatnya tersenyum simpul dan begitu heboh mengobrol dengan temannya itu. Aku rasa mereka bersahabat, karena kulihat dia begitu lepas saat bercerita.
Aku menahan keinginanku untuk menghampirinya. Aku memutuskan untuk menunggunya di bangku kosong di dekatnya. Entah dia mengetahui maksudku atau tidak, aku rasa dia juga sedikit memperhatikanku. Aku menyibukkan diri dengan mengutak-atik ponselku.
Tak berapa lama kemudian, dia terlihat melambaikan tangannya ke temannya itu dan segera beranjak dari bangkunya. Aku tidak akan melewatkan kesempatan ini. Aku segera beranjak dari tempat dudukku dan kemudian berlari menghampirinya (menyamakan langkah lebih tepatnya).
"Yo, baru mau pulang vin?"
"Eh, iya. Kamu juga mau pulang? Bareng yuk."
Dia memberikan senyuman mautnya lagi.
"I-iya. Boleh." Jawab ku singkat, ck padahal sudah sering ngobrol tapi kenapa masih sering gagap kalo liat dia senyum.
"Eh, tadi ngapain duduk sendirian? lagi nungguin orang ya?"
"Iya."
"Hm, nunggu siapa?"
"Nunggu kamu."
"E-eh?"
Kulihat pipinya sedikit memerah. Lucu sekali.
"Udah makan belum vin? Kalo belum cari tempat makan dulu yuk?"
"Hm.. tapi bayarin ya? Hehe."
"Iya, apasih yang gak buat kamu, watashi no Himawari no shojo"
"Haha bisa aja dasar, Apaan tuh artinya? watashi no Himawari no shojo?"
"Watashi no Himawari no shojo tuh artinya ‘Gadis bunga matahariku’ haha keren kan?"
"Hahahahaha bisa aja kamu ini."
"Hahaha gini-gini aku jago bahasa jepang loh vin."
"Ah masa? aku ga percaya. Haha.. "
"Nih vin contohnya, Aishiteru itu artinya aku cinta kamu hahaha."
Secara tidak sadar aku mengungkapkan perasaan ku padanya.
"Yah kalo itusih aku juga tau, ga ada yang lebih susah apa? Ahaha.. coba kalo bahasa jepangnya ‘ada ular melingkar-lingkar diatas pager’ hayo apa coba bahasa jepangnya?
Hahaha.."
"Ya ampun vin, apa coba itu. Kamu mah kalo ngasih pertanyaan ga pernah bener."
"Ahahaha huu payah~ katanya jago."
"Iya-iya, aku ngalah deh. Eh udah sampe nih yuk langsung masuk."
"Yuk, yei ditraktir makan haha.."
"Ckck, dasar. Tapi kapan-kapan gantian ya kamu yang bayarin aku makan."
"Hm, gak janji yah ahaha.."
Diapun langsung masuk ke dalam tempat makan.
"H-hei, dasar curang."
Akupun masuk ke dalam ikut menyusulnya.
-----------------
“Saat paling berharga,
adalah saat dimana kita
dapat menghabiskan waktu
dengan orang yang kita sayang.
Bagiku, kamulah orang itu
Ratu Vienny Fitrilya..
Watashi no Himawari no shojo”
Senyummu, Senyumku
Bau yang khas, kasur putih, selimut putih, tirai putih, tembok yang bercat putih, dan lainnya yang serba berwarna putih. Inilah tempatku tinggal atau tepatnya rumah sakit yang setiap hari aku tempati sejak penyakit ini datang ke tubuhku, tempatku menunda lembaran hidupku yang semakin menipis. Hanya tidur malas dan tidak melakukan apa-apa.
“Uhuk.. uhuk..”
Penyakit ini terus saja meraung-raung untuk segera memakan rohku yang sudah melayang-layang di udara.
“Uhuk.. uhuk..”
Sakit, rasanya dada ini sakit bila sesuatu yang ada dalam tubuh rapuh ini terus memberontak. Sakit sekali.
“Uhuk.. uhuk.. “ darah kental berwarna merah keluar dari mulut pucat ini. Rasanya ingin sekali mengakhiri hidup ini secepat mungkin, agar raga ini tak terus menderita. Agar jiwaku terbang bebas sesuka hati. Melihat luasnya dunia yang telah lama ku tinggalkan.
Tapi, masih ada 'dia'. 'Dia' yang selalu tersenyum untukku. 'Dia' yang selalu temani hari-hari semuku. 'Dia' yang selalu menyemangatiku untuk terus hidup menghadapi derita ini dengan lebih berwarna.
SRAAKK!!
“Pagi~ aku bawa sesuatu untukmu, Pasti kamu suka!” Pintu kamarku dibanting dengan ganas oleh ‘dia’, namanya Shania Junianatha. Perempuan yang aku sayangi sekaligus aku cintai.
“Apaan tuh, shan?” tanyaku padanya sambil tersenyum. Entah kenapa, bila bersama dengan dia rasanya aku selalu bahagia. Inilah kenapa aku ingin terus bertahan hidup.
“Tada~” dia memperlihatkan sesuatu kepadaku.
“Ini dia~ Ada tomat dan jus tomat tanpa gula kesukaanmu.” aku tersenyum melihat tingkahnya, padahal umurnya sudah 17 tahun, tapi sifat dan tingkah lakunya masih seperti anak kecil.
“Ah, terima kasih shan.” Kulihat dia mengambil tomat dan membuka tutup jus tomat yang dibawanya.
“Mau yang mana dulu? Tomat atau jus tomat?” Tanyanya dengan wajah polos, lucu rasanya kalau melihatnya memasang ekspresi seperti itu. Tapi, bukan tomat yang aku inginkan darimu tapi aku ingin terus melihat senyum manismu diwaktuku yang sudah tidak lama lagi ini, hanya itu Shan, pikirku dalam hati.
“Terserah kau saja.” Aku kembali tersenyum kapadanya. Aku rela memberi senyum ini terus untuknya, asal dia mau tersenyum padaku juga.
“Kalau begitu jus tomat ya? ya?” Diapun menaruh kembali tomat ke dalam plastik.
“Ayo buka mulutnya, aaa~~” Dia mencoba meyuapiku.
“Aku bisa minum sandiri.” Aku langsung merebut jus tomat darinya dan mencubit pipinya gemas.
“Aw sakit!” Dia balas mencubit pipiku. Aku sangat bahagia kalau dia sudah di sisiku, bercanda bersama, bersedih bersama, membagi keluh kesah bersama walau lebih banyak dia yang berbicara sedangkan aku hanya menjadi pendengar.
Ah! Aku memegang dadaku, mencoba untuk menahan sakit, dadaku kembali berdenyut kencang, sakit sekali. Tolong, kumohon tubuhku bertahanlah dulu, aku masih ingin bercanda dengannya.
“Uhuk.. uhuk.. Uhuk..” Lagi, mulutku mengeluarkan darah dan kali ini lebih banyak dari yang sebelumnya.
“Ah, kau mengeluarkan darah lagi!! Aku panggilkan dokter dulu.” Dia beteriak panik dan langsung pergi ke luar untuk memanggil dokter. Jangan, jangan pergi Shan, tetaplah disini kumohon.
Shania sudah lari keluar, aku tidak bisa menghadangnya. Aku tidak bisa mengeluarkan suara. Dada ini terasa sangat sakit. Pandanganku mengabur, dan semua menjadi gelap.
***
“Dokter, bagaimana dengan keadaannya?” Samar-samar aku mendengar suara dari luar tempatku berbaring lemah. Itu suara Shania.
“Maaf , kami sudah melakukan sebisa kami tapi, pasien hanya tinggal menunggu waktu saja.” Aku bisa mendengar perkataan dokter itu walaupun samar-samar.
“Ti-tidak mungkin kan dok?! Itu pasti bohong?!” Teriak shania yang kaget mendengar perkataan dokter.
“Maaf, saya benar-benar minta maaf.” Bisa kudengar isakan tangis shania, shan kumohon jangan menangisiku.
Tinggal menunggu waktu saja ya? akupun memejamkan mataku dan berdoa semoga saja aku masih bisa melihat senyum shania besok dan seterusnya.
***
Sraakk!
Suara pintu yang terbuka. Namun hari ini tidak seheboh yang kemarin.
“Pagi~ bagaimana keadaanmu?” sapanya riang. Tapi aku tahu itu cuma topeng dibalik wajah sedihnya.
“Maaf ya aku tidak membawakan apa-apa, tadi aku buru-buru kesini jadi tidak sempat mampir membeli sesuatu hehe.” Dia tersenyum, tapi aku bisa merasakan senyum itu berbeda dari senyumnya yang lain. Senyum itu seperti senyum yang dipaksakan. Shania pun duduk tepat di sebelahku sambil menggenggam erat tanganku.
“Pagi. Sudah agak mendingan kok.” aku mencoba tersenyum. Tapi, senyum kali ini rasanya susah sekali untuk dikembangkan.
Tiba-tiba sesuatu yang hangat mengalir di pipiku. Aku.. menangis?
“E-eh, kenapa menangis?” shania langsung memasang muka kaget dan khawatir. Entahlah, rasanya aku ingin sekali menangis.
“Tenanglah..” tiba-tiba Shania memelukku.
Tapi, bukannya berhenti menangis aku malah menangis semakin menjadi. Kenapa denganku, kenapa aku yang jarang menangis jadi cengeng seperti ini?
“Shania.” aku balas memeluknya.
“Tenanglah, aku akan tetap di sini.” Aku bisa merasakan dia juga ikut menangis.
“Jangan tinggalkan aku.” Pintaku pada shania.
“Iya, tidak akan.” Shania melepas pelukan kami.
“Shan, boleh aku meminta sesuatu?”
“Ya, boleh.” Aku menghapus bekas air mata di pipinya.
“Tersenyumlah untukku.” Mungkin ini adalah permintaan terakhirku padanya.
“Ya, aku akan tersenyum untukmu bahkan setiap haripun boleh.” Diapun tersenyum sangat manis. Maaf Shan sepertinya ini yang terakhir. Malaikat maut sudah menjemputku, dia sedang tersenyum padaku sekarang, aku tidak bisa melawan takdir lagi. Aku bahagia kau sudah mau tersenyum padaku selama ini.
“Aku mencintaimu…” aku membisikkan perasaan tulusku tepat pada telingannya.
“Ya, aku juga mencintaimu..” dia kembali membisikan ucapan itu di telingaku.
“Uhuk.. uhuk.. Uhuk..” aku mulai batuk lagi, yang ini lebih parah dan lebih banyak mengeluarkan darah. Aku melihat shania panik dan memanggil-manggil dokter.
“Dokter!! Dokter!! Tolong dokter!!” Shania mulai berteriak dengan liarnya. Tidak, kali ini aku tidak mau kau pergi.
“S-shan..” kugenggam erat tangannya.
“A-aku akan memanggi dokter, bertahanlah!!” dia mulai menangis kembali.
“Ja… jangan pergi… temani a-aku di sini..” pintaku.
“Ta-tapi..”
“Ku…mohon…”
“Baiklah..” Shania kembali duduk di sampingku. Aku kembali memeluknya dalam. Tangisannya pun semakin deras. Akupun tersenyum, menikmati saat-saat terakhirku bersamanya.
Aku menutup mataku perlahan. Tenang… sangat tenang. Rasanya sangat ringan saat aku memejamkan mataku, dan semuanya pun menjadi putih.
Kau adalah cahaya bagiku
Senyummu memberiku harapan terakhir
Senyummu memberiku kehangatan mentari
Saat kau tersenyum
Hatiku hangat terselimuti surya
Kau adalah aku
Senyummu adalah senyumku
Takkan pernah hilang terkikis masa
Terus terbingkai dalam hatiku
Berikanlah...
Berikanlah senyummu…
Selamanya…
Tetaplah menjadi suryaku
Hingga aku terlahir kembali
Melihat senyummu kembali
Dan saat itu… tunggulah aku…
Tidak ada komentar :
Posting Komentar