Blogger Widgets Official JKT48 : Destiny :)) :)] ;)) ;;) :D ;) :p :(( :) :( :X =(( :-o :-/ :-* : 8-} ~x( :-t b-( :-L x( =))

Kamis, 12 Juni 2014

Destiny



Destiny


Apa kalian percaya kalau kalian dapat mengubah takdir? Pada dasarnya kita sebagai manusia hanya bisa berusaha, dan pada akhirnya hanya tuhan lah yang dapat menentukan takdir kita semua.

Aku berjalan pelan sambil menunduk, tidak peduli dengan suasana dingin yang menusuk langsung ke tulangku. Dengan membawa seikat bunga aku berjalan memasuki area pemakaman umum. Kuedarkan pandangan kosongku ke segala penjuru, sepi. Sudah kuduga, lagipula siapa yang mau berada di pemakaman pada pagi buta? Ya kecuali aku tentunya.
Aku terus berjalan dan berjalan hingga akhirnya aku berhenti tepat di depan sebuah batu nisan, batu nisan yang tertuliskan sebuah nama, nama seseorang yang sangat ku cintai.

“Hehe maaf aku datangnya kepagian, karena habis ini ada rapat yang harus kuhadiri.”

Diam.

“Hei aku membawakanmu bunga matahari, bunga favoritmu.”

Hening.

Kulihat bunga matahari yang kutaruh minggu lalu sudah mulai layu dan mengering.

“Baiklah kutaruh disini ya.” Kuambil bunga yang layu itu dan menggantinya dengan bunga yang kubawa. Lalu aku berdoa dan setelahnya bersiap untuk pergi.

“Yosh, aku akan kembali minggu depan. Maaf aku gak bisa lama-lama.”

Nama yang bertuliskan di batu nisan ini adalah...

“Sampai jumpa vin.” Aku pergi menjauhi makamnya.

Ratu Vienny Fitrilya. Orang yang sangat kucintai yang pergi meninggalkanku karena sebuah kecelakaan 3 minggu yang lalu. Memang kecelakaan itu bukanlah kesalahanku, tapi entah kenapa aku tidak bisa memaafkan diriku sendiri setelah kejadian itu.

Flashback
Saat ini aku sedang berada di kantorku, merapikan document-document yang baru saja akan kuserahkan ke atasanku untuk ditandatangani. Ketika aku selesai menaruh semua document itu di atas meja, aku bersiap untuk pulang karena memang tugas ku telah selesai untuk hari ini. Saat aku sedang bersiap-siap merapikan barang-barangku tiba-tiba ada panggilan masuk ke handphone ku. Kulihat di layar siapa yang meneleponku disaat seperti ini, Vienny. Kukerutkan alisku, tidak biasanya dia menelponku di jam segini. Tanpa menunggu lama segera kuangkat telfon darinya, jika dia menelfonku di jam segini pasti ada sesuatu yang penting, entahlah atau hanya perasaanku saja.

“Halo.”

“Ah halo hehe..”

“Ada apa vin?”

“Um.. kamu ntar pulang jam berapa?”

“Sebentar lagi pulang kok, ada apa vin? ga biasanya kamu nelfon aku jam segini.”

“Ano.. ketemuan di taman yuk.”

“Sekarang?” kulihat lewat jendela langit sangat gelap, menandakan sebentar lagi akan turun hujan, mungkin akan ada hujan badai? Karna saking gelapnya langit yang kulihat.

“Mendung vin, kalau kau mau ketemuan kita ketemuan di rumahmu saja.”

“Aku lagi mau main ke taman sama ketemu kamu.”

“Tapi sebentar lagi bakal hujan vin, kamu...”

“Gapapa, aku bawa payung kok hehe.” Perkataanku langsung dipotong olehnya.

“Tapi...”

“Sudah ya, sampai ketemu di taman dadah hehe.”

Dia memutuskan telfonnya, Vienny memang pemaksa dan keras kepala. Setelahnya,  aku melirik kotak merah yang ada di atas meja ku. Aku mengambil dan memasukan kotak itu ke saku ku lalu beranjak pergi.

******

Akhirnya aku sampai ditaman, benar seperti dugaanku pasti akan turun hujan walaupun tidak sampai hujan badai tapi hujan cukup deras disertai angin yang bertiup kencang, untung aku sudah menyiapkan payung. Sebelum keluar dari mobil aku menelfon vienny, hanya tersambung tapi tidak diangkat. Aneh, tidak biasanya dia tidak mengangkat telfonku. Akhirnya akupun keluar dari mobil, kugenggam payungku erat, karena angin cukup kencang untuk menerbangkan payungku, sambil terus kucoba menghubungi vienny aku berjalan di disekitar taman.

Sepi. Siapa juga orang yang mau ke taman saat sedang hujan deras begini- kecuali aku dan kekasihku yang keras kepala itu tentunya. Hp ku berdering, saat kulihat telfon itu dari vienny dengan cepat langsung kuangkat, tapi bukan suara vienny yang kudengar melainkan suara wanita paruh baya.

“Halo?”

“Halo, saya dari pihak rumah sakit.”

“.............” Aku diam menunggu kalimat selanjutnya

“Pasien bernama nama Ratu vienny fitrilya mengalami kecelakaan beberapa saat yang lalu.”

Bagai tersambar petir aku tidak percaya dengan apa yang baru saja kudengar, payungku terjatuh dan tanpa menunggu lama aku langsung berlari menuju mobilku lalu langsung tancap gas menuju rumah sakit. Tidak peduli dengan jalanan yang licin dan bisa membuatku kecelakaan dan membahayakan keselamatanku aku tidak peduli, yang ada di pikiranku hanya satu, vienny.

******

Aku berlari di koridor rumah sakit, tidak peduli dengan orang-orang yang menatapku keheranan bahkan ada diantara mereka yang tidak sengaja kutabrak tapi aku tetap berlari tanpa meminta maaf terlebih dahulu. Aku menuju ruang UGD. Tempat dimana Vienny berada. Yang seharusnya aku temui di Taman, dan bukan ku temui di tempat menyebalkan ini.

Dengan napas terengah-engah akhirnya aku menemukan ruang UGD. Ruangan yang terasa jauh sekali jika kau sedang dalam keadaan cemas luar biasa. Tiba-tiba seorang dokter keluar dari dalam ruang UGD.

“Dok, bagaimana keadaannya? Dia baik-baik saja kan? Cepat katakan dia baik-baik saja! Jawab saya dok!” Dengan napas masih terengah-engah aku melayangkan pertanyaan bertubi-tubi padanya. Kulihat dia hanya menghela napas dan menyuruhku untuk tenang terlebih dahulu. Lalu dia menepuk pundakku dan menyuruhku masuk ke dalam ruangan, ruangan yang serba putih dan bau yang tidak enak. Kulihat vienny terbaring di atas sebuah kasur rumah 
sakit.

Aku berdiri di sampingnya, Vienny. Darah melekat di pakaiannya yang kini berbaring di depan ku. Matanya menatapku. Sebuah senyuman terukir di wajahnya.

“Hey...” Dengan suara lirih dia mencoba untuk bicara.

“Jangan bicara dulu vin.” Dia menggelengkan kepalanya pelan.

“M-ma..af.. ya.. a-aku ngerepotin kamu l-la..gi.” Dia bicara dengan terbata. Aku 
mencoba untuk tegar dan tidak menangis. Sungguh jika aku bisa menggantikannya biarkan semua rasa sakit yang dideritanya pindah kepadaku. Aku tidak kuat melihatnya berbaring tidak berdaya dengan seluruh rasa sakit yang dideritanya.

“Jangan meminta maaf..” Air mata yang sedari tadi kutahan akhirnya keluar.

“Ja-ngan menangis..” Dia tersenyum, dengan semua rasa sakit yang dirasakannya dia 
masih bisa tersenyum untukku.

“Ak-....”

“Menikahlah denganku!” Dengan cepat kupotong perkataannya, kukeluarkan kotak merah dari saku ku. Kubuka dan kuambil cincin yang ada didalamnya.

“.............”

“Diam artinya ‘iya’..” Kulihat dia mengangguk kecil dan kembali tersenyum. Kupasangkan cincin tadi ke jari manisnya secara perlahan, mencoba untuk tidak menyakitinya.

“Cincin yang i-indah, terima-kasih..”

“...........” Aku hanya diam membisu dan terus memandangnya. Mencoba untuk mengurangi rasa sakit yang dirasakannya.
“Aku mengantuk...”

“Jangan tidur vin, kumohon tetap buka matamu.” Aku berusaha membuat suara ku terdengar biasa. Suara ku mendadak tercekat begitu saja.

“Hehe.. t-terima..kasih.” Dia tersenyum dan menutup matanya. Untuk selama-lamanya.

"Bangun, Vin!" Aku menatap lurus pada wanita di depan ku yang kini 'tidur.' Wajahnya begitu damai.
Flashback off

Sekarang aku sudah berada diluar area pemakaman, kulangkahkan kakiku menuju mobilku yang terparkir di seberang jalan. Masuk kedalam mobilku, kulihat lagi ke arah pemakaman.

'Tidurlah dengan tenang, My love.’




--------------------------------------------------------------



Serpihan Ingatan Yang Terlupakan

Liburan musim panas.

Gadis itu menjejakan telapak kakinya pada hitam tanah yang telah lama tak diinjaknya. Entah sudah berapa tahun ia tidak singgah sekalipun ke sana, mungkin karena terlalu lama mendekam di luar negeri.

Tempat itu tak pernah berubah.

Jalan masih berupa tanah dan batu. Rimbun dedaunan melindunginya dari panas mentari. Angin sejuk yang bertiup sedikit membuat matanya terpejam menikmati saat yang tenang ini.
'Flap'

Sebersit ingatan melintas, masa lalunya berputar dalam otak. Sembari melangkah, gadis itu mengingat masa lalunya.

-Flashback-
"Kena!!" seru bocah perempuan saat menemukan temannya yang bersembunyi.
"Yah..." keluh temannya.
"Sekarang giliran Rena yang jaga!" tunjuk bocah itu dengan gembira. Kini gilirannya ia bersembunyi.
Rena menghadap ke pohon. Ia menutup mata dan mulai menghitung.
"Aku hitung, ya. Mulai! 1, 2, 3, 4, ..."
Bocah perempuan tadi juga gerombolan anak yang lain panik. Dengan terburu-buru ia berlarian mencari lokasi persembunyian aman.
"5, 6, 7, ..."
Hitungan hampir berakhir.
"8.."
Bocah perempuan tadi langsung menyembunyikan diri di balik semak-semak. Mungkin sekiranya 3 meter dari jarak anak yang bertugas jaga.
"Di sini pasti aman!" gumamnya percaya diri.
"Iya pasti gak ketahuan, hihihi.."
Kaget, anak perempuan itu tidak tahu kalau ada anak lain yang juga bersembunyi di tempat itu.
"10!"

Rena pun menyelesaikan hitungannya, ia mulai mencari teman-temannya yang sedang bersembunyi.
Hitungan selesai.
"Shan, kenapa kamu sembunyi di sini?" Tanya stella.
Perempuan yang mempunyai smiling eye’s itupun menoleh.
"Sttt! Tenang, dong Ci. Di sini 'kan paling aman, nggak bakal ketahuan. Kalau ketahuan juga paling terakhir," jelas Shania.
Stella cemberut, menggembungkan pipinya.
"Curang! Kan aku duluan yang ke sini!" protesnya.
"Sttt! Diam, dong! Nanti ketahuan dan jaga lagi lho Ci!" bisik Shania.
Stella terpaksa diam, sebenarnya ia ingin mengomelia Shania. Tapi, Ia sendiri malas harus jaga lagi. Merepotkan.
"Sudah 'kan? Aku cari, ya!" Teriak rena.
Rena masih mencari teman-temannya.
Diam.
Tak ada obrolan sama sekali. Stella masih kesal dengan Shania. Karena hal sepele tadi Meski untuk anak kecil itu bukan hal sepele.
"Emm... Ci..."
Hening.
"Eh... Cici katanya kamu mau pergi jauh?"
Stella menghadapkan kepalanya ke arah Shania, matanya menatap wajah polos Shania.
"Iya..."
Berhenti sejenak.
"Aku akan ikut Ayah dan Ibu ke luar negeri dan tinggal di sana. Aku pasti berpisah sama teman-teman... dan mungkin kalian akan lupa aku..." ujarnya. Membendung sedih air mata yang siap meleleh kapan saja.
"Kami gak akan lupa Cici! Di sana pasti Cici akan punya banyak teman baru! Aku jamin!" ujar Shania menyemangati Stella.
"Liburan panjang Cici 'kan bisa pulang ke sini dan sekalian bawa oleh-oleh buat aku hehe." sengirnya.
Stella mendengus.
"Huh, maunya."
Isak yang tertahan menghilang.
"Lalu, kapan perginya?"
"Besok pagi..."
Singkat. Tapi, menarik sedih kembali.
"Kalau begitu..." belum sempat shania menyelesaikan kata-katanya rena sudah berteriak dibelakang mereka.
"HAYOO!!"
Deg.
Bikin jantungan.
"Bukannya sembunyi yang bener, eh... malah ngobrol. Kalian KENA!!" seru Rena.
"Yah... apes deh," keluh Stella dan Shania.
"Anak-anak, ayo pulang sudah sore!"
Seorang ibu setengah baya berseru, membubarkan permainan bocah-bocah yang terlanjur nyaman.
"Yah.. ci besok sebelum cici pergi kita main lagi ya? Ya?"
 "Ya.. " hanya itu jawaban yang dilontarkan stella. Merekapun berpisah untuk pulang kerumah masing-masing.
Hari telah sore. Mentari sayu akan terlelap ditelan gelap. Tugasnya terganti, rembulan pun muncul yang juga disambut oleh suara binatang malam. Namun, malam itu terasa lebih sunyi.
----
Beberapa langkah lagi.
Tempat itu perjuangan terakhirnya.
Hanya itu.
Tak lain.
  ----
Fajar telah menjelang, kokok ayam jantan menyertai Pagi. Namun matahari belum sepenuhnya terbangun. Gadis cilik itu bersiap pergi, setumpuk koper telah masuk bagasi. Paspor dan tiket pesawat siap melayangkannya jauh dari tempat itu.
Keluarga gadis cilik itu berpamitan pada sosok laki-laki dan perempuan yang telah uzur, Dan meninggalkan pesan.
"Ayo, Stella."
Stella melangkah menaiki mobil.
"Cici!!"
Gadis cilik itu melengos, mencari sumber suara barusan dari balik kaca mobil. Menyingkapnya, Mengeluarkan tulang kepalanya sebagian.
"Shan..."
"Ci... hosh... kita kan belum main lagi ci!! Kenapa cici malah udah mau pergi?!! Cici jahat!!!” Shania berteriak mengomeli stella. Meskipun begitu bocah kecil yang sedang marah itu tidak bisa menahan air matanya.
"Maaf shan.. aku..." Stella pun ikut menangis, ia tidak tau harus bicara apa ke sahabatnya. Sahabatnya yang sangat nyebelin namun sangat disayanginya.

  "kalau liburan main ke sini lagi ya!! Harus janji!!" belum sempat stella selesai bicara Shania sudah menyela omongannya.
"Iya, aku janji!!"
Tersenyum.
"Aku pergi dulu!!" pamitnya.
Melaju.
" Janji ya!! Jangan lupa kirim surat juga!" tambah Shania Melambaikan tangan.
"Kamu juga!"
Berlari. Mengejar.
" Cici selalu ingat aku ya! Jangan sampe lupa hehehe.."
Terakhir. Stella hanya mengangguk dalam mobil yang melaju, Sosok Shania semakin kecil dan menjauh dari pandangan Shania.
Tertutup gelap.
Dan lenyap.
-Flashback end-
"Stella, selamat datang!"
Sambutan bergema berasal dari seorang perempuan tua.
'Flap'
Sadar, Stella telah sampai di depan rumah neneknya. Tempat kenangan yang tak pernah sekalipun mengalami perubahan.
"Ayo masuk dulu. Kamu pasti lelah dari perjalanan jauh." ajak nenek Stella.
Stella meletakkan ranselnya, memandang ke langit lagi.
"Nanti saja nek." Senyumnya pahit.
"Aku mau ke makamnya dulu."
Berjalan meninggalkan ranselnya. Meninggalkan neneknya, Meninggalkan gubuk yang akan ia tempati nanti.
Ia pun pergi ke suatu tempat.
Ke sebuah makam.
Dia menangis dan Berdoa.
Untuk sahabatnya.
Sahabat masa kecilnya.
"Aku baru tahu kemarin lusa..."
Yang meninggal setahun lalu karena tabrak lari.
"Maafkan aku, Shania..."
Air matanya Jatuh.
Meleleh.
Membasahi tanah duka.

"Semoga kau tenang di alam sana, sahabatku... "



“Apakah arti sebuah sahabat?
Satu jiwa yang bersemayam
Dalam dua tubuh.
Aku takkan melupakanmu.”



Himawari No Shojo ~Gadis Bunga Matahari~



Sebuah kisah klasik yang terjadi antara seorang laki-laki dan perempuan. Ini kisahku bersamanya.

------------------------

Dia, Ratu Vienny Fitrilya. Dia gadis yang biasa saja. Tingginya bahkan hanya sebahuku. Dia gadis yang kurang mencolok dibandingkan dengan teman-temannya. Em, mungkin sedikit pemalu, tetapi banyak orang yang menyukainya. Menyukai sebagai teman pastinya.
Ada satu hal yang membuatku selalu berpikir, tidakkah dia punya masalah, karena selalu yang kulihat hanyalah senyum gembiranya. Ah, dia terlalu misterius untuk diamati. Dia bukanlah orang yang akan mengumbar masalahnya pada khalayak umum. Itu yang aku sukai darinya.
Aku sempat lupa diri ketika suatu hari dia terlihat tergesa di depan ruangan dosen. Aku yang saat itu sedang duduk bercengkerama dengan temanku di bangku kosong dekat tangga sesaat memalingkan pandanganku padanya. Ah, rambutnya yang terikat rapi di belakang kepala dan poni yang menutupi hampir seluruh dahinya menjadi kusut dan lepek. Nafasnya memburu karena kelelahan berlari (mungkin). Dia berlari ke pintu sebelah utara yang menghubungkan ke ruangan dosen. Tak lama kemudian, dia kembali ke arah tangga dan menatapku. Aku tergagap dipandangi seperti itu.


"A..ano maaf kamu liat bu yeni? aku tadi sudah dari ruangannya, tetapi beliau tidak ada..."

Suara lembut itu mengalun pelan. Hei! Jangan diam saja, diriku, ayo bicaralah!

"Hn. gak liat..."

Ck, bagus. Suara ku bahkan terkesan datar dan tidak bersahabat.

"oh, makasih ya..."

Apa? Hanya itu? Tak ada yang lain?

Kemudian dia berlalu begitu saja. Ini adalah pertama kalinya aku bicara dengannya dan aku sangat menunggu saat-saat seperti ini, dan sekarang, hanya seperti ini? aku memang payah.


--------------------
.
Vienny atau bisa dipanggil viny untuk lebih gampangnya hehe. Jika dikatakan mengenalnya, aku tak cukup kenal dengan dia. Aku hanya sebatas tau namanya saja. Diam-diam saat dikelas aku selalu memperhatikannya, saat dia tertawa entah mengapa hal itu mendorong diriku untuk ikut tertawa, bahkan aku sempat dikira gila oleh teman disebelah ku karena ketahuan senyum-senyum sendiri. Memang bodoh.

Hari itu dia terlihat mengenakan rok selutut dengan kemeja bunga-bunga yang cantik secantik pemakainya. Mungkin omonganku terkesan menggombal. Namun itulah kenyataannya. Dia begitu cantik dan dipermanis dengan bandana yang serasi dengan baju yang dia kenakan. Hatiku benar-benar berdebar ketika dia lewat di depanku. Aku tak habis pikir, mengapa aku merasakan hal tak masuk akal begini hanya karena seorang gadis yang tak cukup aku kenal.



Dia terlihat sedang mengobrol dengan teman-temannya. Terkadang senyum simpul tersungging di bibirnya. Dan terkadang punggung tangannya terlihat sedikit menutupi tawanya yang agak keras tetapi santun itu. Tiba-tiba wajahnya terlihat memerah dan dia mengibas-ngibaskan tangannya ke depan.


Ngomong-ngomong, sejak kapan aku menjadi stalker seperti ini? Ah sudahlah .

"Permisi... Hei kok dari tadi ngelamun aja? "

Eh? Sejak kapan dia ada di hadapanku? Ah, pasti aku terlalu banyak melamun hingga tak menyadari kedatangannya.

"Hn…"
Gumamku tidak jelas.

"E-eh, Apa?"

Bodoh! Apa yang aku lakukan! Tentu dia tak akan tahu maksud dari gumamanmu barusan.

"Ng-nggak papa, Cuma lagi liat pemandangan aja."

Arrgghh! Jawaban macam apa itu. Dia pasti akan menganggap ku aneh.

"Eh, emang lagi liat pemandangan apa?"

Bingung menjawabnya, seketika mataku langsung tertuju pada taman bunga matahari yang ada di depanku.
"Lagi liat bunga matahari, tuh." Aku menunjuk taman bunga yang hanya dipenuhi oleh bunga matahari, sial pasti aku semakin terlihat bodoh dimatanya, pasti dia menganggapku cowok aneh yang suka melihat taman bunga. Tamatlah sudah.

"E-eh! Aku suka banget sama bunga matahari loh, kamu juga suka?"

E-eh, bingung menjawab apa. Akupun hanya menganggukkan kepala.

"Wah~ seneng deh kalo ada orang yang sukanya samaan dengan kita hehe."

Dia tersenyum padaku. Ca-cantik hanya itu yang ada di pikiran ku saat itu.

"Vin, ayo cepet, katanya mau ke kantin..." teman-teman viny pun sudah memanggilnya.

"Iya sebentar. Eh, maaf aku kesana dulu ya, sampai nanti." Dia tersenyum lagi.

Aku hanya diam melihatnya menjauh pergi, sesekali kulihat dia tertawa dengan teman-temannya. Membuat ku juga ikut tersenyum, perasaan ini memang aneh.



----------------------------


Sekian lama aku memperhatikannya (kalau tidak mau disebut ‘menstalker’), akhirnya aku dapat berinteraksi lebih lama dengannya. Bahkan menjadi akrab dengannya. Dia anak pertama dari dua bersaudara. Ayahnya bekerja sebagai pegawai pemerintah. Dan ibunya adalah seorang ibu rumah tangga. Oke aku memang stalker yang handal -_-


Interaksiku berawal ketika sore ini aku melihatnya sedang bercengkerama dengan  salah temannya di salah satu bangku taman kampus. Ketika itu aku baru saja keluar dari gedung di sebelah timur. Aku berniat pulang setelahnya karena badanku yang sudah terasa pegal. Namun, niatku runtuh seketika dan badanku menjadi sehat bugar kala melihatnya tersenyum simpul dan begitu heboh mengobrol dengan temannya itu. Aku rasa mereka bersahabat, karena kulihat dia begitu lepas saat bercerita.


Aku menahan keinginanku untuk menghampirinya. Aku memutuskan untuk menunggunya di bangku kosong di dekatnya. Entah dia mengetahui maksudku atau tidak, aku rasa dia juga sedikit memperhatikanku. Aku menyibukkan diri dengan mengutak-atik ponselku.


Tak berapa lama kemudian, dia terlihat melambaikan tangannya ke temannya itu dan segera beranjak dari bangkunya. Aku tidak akan melewatkan kesempatan ini. Aku segera beranjak dari tempat dudukku dan kemudian berlari menghampirinya (menyamakan langkah lebih tepatnya).


"Yo, baru mau pulang vin?"

"Eh, iya. Kamu juga mau pulang? Bareng yuk."

Dia memberikan senyuman mautnya lagi.

"I-iya. Boleh." Jawab ku singkat, ck padahal sudah sering ngobrol tapi kenapa masih sering gagap kalo liat dia senyum.

"Eh, tadi ngapain duduk sendirian? lagi nungguin orang ya?"

"Iya."

"Hm, nunggu siapa?"

"Nunggu kamu."

"E-eh?"

Kulihat pipinya sedikit  memerah. Lucu sekali.

"Udah makan belum vin? Kalo belum cari tempat makan dulu yuk?"

"Hm.. tapi bayarin ya? Hehe."

"Iya, apasih yang gak buat kamu, watashi no Himawari no shojo"

"Haha bisa aja dasar, Apaan tuh artinya? watashi no Himawari no shojo?"

"Watashi no Himawari no shojo tuh artinya ‘Gadis bunga matahariku’ haha keren kan?"

"Hahahahaha bisa aja kamu ini."

"Hahaha gini-gini aku jago bahasa jepang loh vin."
"Ah masa? aku ga percaya. Haha.. "
"Nih vin contohnya, Aishiteru itu artinya aku cinta kamu hahaha."
Secara tidak sadar aku mengungkapkan perasaan ku padanya.
"Yah kalo itusih aku juga tau, ga ada yang lebih susah apa? Ahaha.. coba kalo bahasa jepangnya ‘ada ular melingkar-lingkar diatas pager’ hayo apa coba bahasa jepangnya? 
Hahaha.."
"Ya ampun vin, apa coba itu. Kamu mah kalo ngasih pertanyaan ga pernah bener."
"Ahahaha huu payah~ katanya jago."
"Iya-iya, aku ngalah deh. Eh udah sampe nih yuk langsung masuk."
"Yuk, yei ditraktir makan haha.."
"Ckck, dasar. Tapi kapan-kapan gantian ya kamu yang bayarin aku makan."
"Hm, gak janji yah ahaha.."
Diapun langsung masuk ke dalam tempat makan.
"H-hei, dasar curang."
Akupun masuk ke dalam ikut menyusulnya.





-----------------
“Saat paling berharga,
 adalah saat dimana kita
 dapat menghabiskan waktu
 dengan orang yang kita sayang.
Bagiku, kamulah orang itu
Ratu Vienny Fitrilya..
Watashi no Himawari no shojo”



Writer By : @Ibnu_FN

Minggu, 11 November 2012

Senyummu, Senyumku



Bau yang khas, kasur putih, selimut putih, tirai putih, tembok yang bercat putih, dan lainnya yang serba berwarna putih. Inilah tempatku tinggal atau tepatnya rumah sakit yang setiap hari aku tempati sejak penyakit ini datang ke tubuhku, tempatku menunda lembaran hidupku yang semakin menipis. Hanya tidur malas dan tidak melakukan apa-apa.
“Uhuk.. uhuk..”
Penyakit ini terus saja meraung-raung untuk segera memakan rohku yang sudah melayang-layang di udara.
“Uhuk.. uhuk..”
Sakit, rasanya dada ini sakit bila sesuatu yang ada dalam tubuh rapuh ini terus memberontak. Sakit sekali.
“Uhuk.. uhuk.. “ darah kental berwarna merah keluar dari mulut pucat ini. Rasanya ingin sekali mengakhiri hidup ini secepat mungkin, agar raga ini tak terus menderita. Agar jiwaku terbang bebas sesuka hati. Melihat luasnya dunia yang telah lama ku tinggalkan.
Tapi, masih ada 'dia'. 'Dia' yang selalu tersenyum untukku. 'Dia' yang selalu temani hari-hari semuku. 'Dia' yang selalu menyemangatiku untuk terus hidup menghadapi derita ini dengan lebih berwarna.
SRAAKK!!
“Pagi~ aku bawa sesuatu untukmu, Pasti kamu suka!” Pintu kamarku dibanting dengan ganas oleh ‘dia’, namanya Shania Junianatha. Perempuan yang aku sayangi sekaligus aku cintai.
“Apaan tuh, shan?” tanyaku padanya sambil tersenyum. Entah kenapa, bila bersama dengan dia rasanya aku selalu bahagia. Inilah kenapa aku ingin terus bertahan hidup.
“Tada~” dia memperlihatkan sesuatu kepadaku.
“Ini dia~ Ada tomat dan jus tomat tanpa gula kesukaanmu.” aku tersenyum melihat tingkahnya, padahal umurnya sudah 17 tahun, tapi sifat dan tingkah lakunya masih seperti anak kecil.
“Ah, terima kasih shan.” Kulihat dia mengambil tomat dan membuka tutup jus tomat yang dibawanya.
“Mau yang mana dulu? Tomat atau jus tomat?” Tanyanya dengan wajah polos, lucu rasanya kalau melihatnya memasang ekspresi seperti itu. Tapi, bukan tomat yang aku inginkan darimu tapi aku ingin terus melihat senyum manismu diwaktuku yang sudah tidak lama lagi ini, hanya itu Shan, pikirku dalam hati.
“Terserah kau saja.” Aku kembali tersenyum kapadanya. Aku rela memberi senyum ini terus untuknya, asal dia mau tersenyum padaku juga.
“Kalau begitu jus tomat ya? ya?” Diapun menaruh kembali tomat ke dalam plastik.
“Ayo buka mulutnya, aaa~~” Dia mencoba meyuapiku.
“Aku bisa minum sandiri.” Aku langsung merebut jus tomat darinya dan mencubit pipinya gemas.
“Aw sakit!” Dia balas mencubit pipiku. Aku sangat bahagia  kalau dia sudah di sisiku, bercanda bersama, bersedih bersama, membagi keluh kesah bersama walau lebih banyak dia yang berbicara sedangkan aku hanya menjadi pendengar.
Ah! Aku memegang dadaku, mencoba untuk menahan sakit, dadaku kembali berdenyut kencang, sakit sekali. Tolong, kumohon tubuhku bertahanlah dulu, aku masih ingin bercanda dengannya.
“Uhuk.. uhuk.. Uhuk..” Lagi, mulutku mengeluarkan darah dan kali ini lebih banyak dari yang sebelumnya.
“Ah, kau mengeluarkan darah lagi!! Aku panggilkan dokter dulu.” Dia beteriak panik dan langsung pergi ke luar untuk memanggil dokter. Jangan, jangan pergi Shan, tetaplah disini kumohon.
Shania sudah lari keluar, aku tidak bisa menghadangnya. Aku tidak bisa mengeluarkan suara. Dada ini terasa sangat sakit. Pandanganku mengabur, dan semua menjadi gelap.

***


“Dokter, bagaimana dengan keadaannya?”  Samar-samar aku mendengar suara dari luar tempatku berbaring lemah. Itu suara Shania.
“Maaf , kami sudah melakukan sebisa kami tapi, pasien hanya tinggal menunggu waktu saja.” Aku bisa mendengar perkataan dokter itu walaupun samar-samar.
“Ti-tidak mungkin kan dok?! Itu pasti bohong?!”  Teriak shania yang kaget mendengar perkataan dokter.
“Maaf, saya benar-benar minta maaf.” Bisa kudengar isakan tangis shania, shan kumohon jangan menangisiku.
Tinggal menunggu waktu saja ya? akupun memejamkan mataku dan berdoa semoga saja aku masih bisa melihat senyum shania besok dan seterusnya.

***

Sraakk!
Suara pintu yang terbuka. Namun hari ini tidak seheboh yang kemarin.
“Pagi~ bagaimana keadaanmu?” sapanya riang. Tapi aku tahu itu cuma topeng dibalik wajah sedihnya.
“Maaf ya aku tidak membawakan apa-apa, tadi aku buru-buru kesini jadi tidak sempat mampir membeli sesuatu hehe.”  Dia tersenyum, tapi aku bisa merasakan senyum itu berbeda dari senyumnya yang lain. Senyum itu seperti senyum yang dipaksakan. Shania pun duduk tepat di sebelahku sambil menggenggam erat tanganku.
“Pagi. Sudah agak mendingan kok.” aku mencoba tersenyum. Tapi, senyum kali ini rasanya susah sekali untuk dikembangkan.
Tiba-tiba sesuatu yang hangat mengalir di pipiku. Aku.. menangis?
“E-eh, kenapa menangis?” shania langsung memasang muka kaget dan khawatir. Entahlah, rasanya aku ingin sekali menangis.
“Tenanglah..” tiba-tiba Shania memelukku.
Tapi, bukannya berhenti menangis aku malah menangis semakin menjadi. Kenapa denganku, kenapa aku yang jarang menangis jadi cengeng seperti ini?
“Shania.” aku balas memeluknya.
“Tenanglah, aku akan tetap di sini.” Aku bisa merasakan dia juga ikut menangis.
“Jangan tinggalkan aku.” Pintaku pada shania.
“Iya, tidak akan.” Shania melepas pelukan kami.
“Shan, boleh aku meminta sesuatu?”
“Ya, boleh.” Aku menghapus bekas air mata di pipinya.
“Tersenyumlah untukku.” Mungkin ini adalah permintaan terakhirku padanya.
“Ya, aku akan tersenyum untukmu bahkan setiap haripun boleh.” Diapun tersenyum sangat manis. Maaf Shan sepertinya ini yang terakhir. Malaikat maut sudah menjemputku, dia sedang tersenyum padaku sekarang, aku tidak bisa melawan takdir lagi. Aku bahagia kau sudah mau tersenyum padaku selama ini.
“Aku mencintaimu…”  aku membisikkan perasaan tulusku tepat pada telingannya.
“Ya, aku juga mencintaimu..” dia kembali membisikan ucapan itu di telingaku.
“Uhuk.. uhuk.. Uhuk..” aku mulai batuk lagi, yang ini lebih parah dan lebih banyak mengeluarkan darah. Aku melihat shania panik dan memanggil-manggil dokter.
“Dokter!! Dokter!! Tolong dokter!!” Shania mulai berteriak dengan liarnya. Tidak, kali ini aku tidak mau kau pergi.
“S-shan..” kugenggam erat tangannya.
“A-aku akan memanggi dokter, bertahanlah!!” dia mulai menangis kembali.
“Ja… jangan pergi… temani a-aku di sini..” pintaku.
“Ta-tapi..”
“Ku…mohon…”
“Baiklah..”  Shania kembali duduk di sampingku. Aku kembali memeluknya dalam. Tangisannya pun semakin deras. Akupun tersenyum, menikmati saat-saat terakhirku bersamanya.
Aku menutup mataku perlahan. Tenang… sangat tenang. Rasanya sangat ringan saat aku memejamkan mataku, dan semuanya pun menjadi putih.

Kau adalah cahaya bagiku
Senyummu memberiku harapan terakhir
Senyummu memberiku kehangatan mentari
Saat kau tersenyum
Hatiku hangat terselimuti surya
Kau adalah aku
Senyummu adalah senyumku
Takkan pernah hilang terkikis masa
Terus terbingkai dalam hatiku
Berikanlah...
Berikanlah senyummu…
Selamanya…
Tetaplah menjadi suryaku
Hingga aku terlahir kembali
Melihat senyummu kembali
Dan saat itu… tunggulah aku…


Tidak ada komentar :

Posting Komentar